Kamis, 19 Juli 2012

[xenophobia] ketika seorang jawa di ranah minang

“Ala Biso Mangecek Baso Urang Minang, Da?” (Sudah bisa berbicara bahasa orang Minang, Uda?)

“Alun lai. Ambo masih saketek saketek bisonyo. Paralu baraja taruih iko.” (Belum bisa. Saya masih sedikit-sedikit bisanya. Perlu belajar terus untuk itu)

Hahahaha... Demikianlah kiranya percakapan yang sering saya alami kalau berbincang dengan orang Minang yang baru saya kenali dan temui di kota Painan ini. Dengan logat yang masih kerasa medhognya orang Jawa, saya menjawab pertanyaan dalam bahasa Minang itu. Semula saya jawabnya dengan memakai bahasa Indonesia, bahkan pun dulu saat awal-awal di sini malah belum mengetahui apa arti dari pertanyaan tersebut hihihi. Sekarang karena sudah paham beberapa istilah bahasa Minang, yah dicobalah memakai bahasa yang sama untuk menjawabnya. Semoga sih tidak salah ya hehehe.

Nah, bagi seorang yang dalam garis keluarganya tidak ada darah orang Minang seperti saya ini, tentulah merantau ke negerinya orang Minang ini menjadi suatu pengalaman yang sangat berkenang di hati *halah. Mengapa? Karena budaya dan bahasa yang digunakan di sini merupakan hal yang baru saya dapati secara langsung dan jelas sangat berbeda dengan budaya serta bahasa yang saya pakai dalam keseharian, yakni Bahasa Jawa *maklum orang Jawa tulen sih hehehe*. Paling sebelumnya tahunya berbahasa Minang itu dengan pengetahuan terbatas dan tahunya kosakatanya serba diganti vokal O seperti biso, baso, dan akhiran serba -nyo hehehe. Sungguh kelihatan awamnya saya akan bahasa Minang saat itu.

Jelaslah sudah kemudian apa yang terjadi saat benar-benar pindah ke sini. Saya mengalami apa yang kiranya disebut sebagai Xenophobia. Kultur yang selama ini saya hadapi ternyata berbeda nian dengan kultur yang ada di hadapan saya sekarang. Jadilah saya merasa berada di dunia asing yang sama sekali belum saya pahami saat itu.

Roaming Bahasa Minang Di Mana-mana

Ada banyak hal yang saya alami tentang cultural-shock awal mula saya berada di Painan. Kejadian pertama adalah saat saya melayani mitra kerja kantor yang sangat didominasi oleh orang asli Minang. Kesulitan yang saya hadapi bukanlah pada permasalahan teknis yang harus dipecahkan untuk membantu mitra kerja tersebut, tetapi kesulitannya adalah pada komunikasinya. Para mitra kerja itu berbicara dan mengutarakan persoalan yang dihadapinya tidak menggunakan bahasa yang saya sudah pahami, melainkan memakai bahasa Minang yang saat itu jelas menjadi hal baru bagi saya.

Benar-benar dah saat itu saya jadinya coba-coba asal untuk mengerti dan memahami apa maksudnya. Akan tetapi seringnya saya gagal mengerti. Mereka berbicara dengan tempo yang cepat dan tak bisa saya ikuti dan juga banyak sekali kosakata yang terasa asing di telinga, tak hanya sekadar kosakata yang diserba-O-kan sebagaimana saya ketahui sebelumnya huhuhu.

Sekali dua kali saya masih mencoba untuk mengerti. Ah, mungkin saja memang di sini sudah terbiasanya memakai bahasa Minang dalam keseharian, apalagi petugas di kantor saya ini juga banyak yang asli Minang sehingga lebih memilih berbicara dalam bahasa Minang, pun dengan para mitra kerja. Akan tetapi, selanjutnya saya jadi heran sendiri. Apa dikiranya mitra kerja itu semua orang yang sudah tinggal di Ranah Minang ini bisa bahasa Minang ya. Mbok ya pahami kalau saya ini pendatang baru dan terlihat sangat jelas dari logat saya pun, pasti bukan orang Minang.

Hingga kemudian, saya sempat pernah saking mood-nya kemudian menegaskan kepada para mitra kerja yang berbicara memakai bahasa Minang itu, “Maaf Bapak/Ibu, bisa bicara dengan menggunakan bahasa Indonesia saja. Saya tidak mengerti apa yang Bapak/Ibu bicarakan karena saya masih belum bisa bahasa Minang” huhuhu. La bagaimana lagi, kalau saya ngasal mengartikan bahasa Minang takutnya malah persoalan mitra kerja tak bisa diatasi karena kendala komunikasi itu.

Tak hanya saat bekerja saja peristiwa cultural shock saya alami. Saat mau membeli barang di pasar, saat makan di Rumah Makan, saat ditanyai oleh orang dan bertanya arah di jalan, dan saat-saat lainnya bersama dengan orang Minang asli di sini, saya terjebak dengan bahasa asing yang belum saya pahami saat itu. Berasa sekali ibarat istilah komunikasi menggunakan telepon genggam itu kena roaming di mana-mana huhuhu.

Setia Berbahasa Jawa dengan Orang Jawa

Masa-masa awal di Painan dengan serba roaming bahasa Minang itu menjadikan saya yang orang Jawa ini merasa begitu jauh dengan kultur (bahasa dan budaya) orang Jawa. Saya pun semula mengira jangan-jangan di sini pun benar-benar tidak ada orang Jawa dan semuanya orang Minang huhuhu. Bahkan juga sempat terlintas di pikiran, wah lama-lama nih bisa luntur juga identitas saya sebagai orang Jawa, nanti kalau sudah sekian tahun di sini sudah tidak bisa lagi berbahasa Jawa, bisanya berbicara bahasa Minang saja hohoho.

Namun, persepsi demikian itu terhapus dengan sendirinya setelah saya bertemu dengan orang-orang Jawa di Ranah Minang ini. Alhamdulillah sesuatu banget dah saat itu hehehe. Kenalan orang Jawa pertama saya adalah tukang penjual bakso yang ada di sebelah kantor saya. Sebelumnya saya kira malah penjual bakso ini adalah orang Minang karena berbicara dalam bahasa Minang saat berdagang. Akan tetapi, setelah saya simak baik-baik obrolan itu, saya temukan ada logat Jawa yang masih kerasa pada penjual bakso itu. Saat saya ada kesempatan ngobrol dengan dia, ketawanlah benar kalau mas penjual bakso ini adalah orang Jawa yang sudah lama tinggal di sini karena program transmigrasi di jaman dulu.

“Oalah Mase saking Jawa to jubule. Kula nggih saking jawa, Mas. Wong Salatiga. Niki ing mriki kula kerjo ing kantor sebelah.” (Oalah Masnya dari Jawa ya ternyata. Saya ya juga dari Jawa, Mas. Orang Salatiga. Ini di sini saya kerja di kantor sebelah). Begitulah kiranya ucapan saya saat tahu masnya orang Jawa hehehe.

Entah dorongan dari mana, secara spontan setelah tahu dirinya adalah orang Jawa, langsung saya gunakan bahasa Jawa dalam bercakap-cakap. Bbbbbeuh setelah selesai ngobrol, betapa terasa puasnya diri saya telah dapat mempergunakan bahasa yang kerap saya gunakan dulu, yakni bahasa Jawa hehehe.

Salah satu hal yang membuat saya kaget kemudian adalah setiap penjual bakso/mie ayam/semacamnya di kota ini rupanya didominasi oleh orang Jawa. Saya pun yang memang suka makanan semacam itu jadinya ya semakin sering berkunjung. Tak hanya karena makanannya saja, akan tetapi juga dengan alasan kepuasan berbicara dengan bahasa ibu saya ini. Bahkan pun, tak jarang pula di warung-warung ini saya bertambah kenalan orang Jawa lainnya yang sedang mampir. Saya jadi menarik suatu kesimpulan bahwa sepertinya tidak hanya saya sendiri yang kangen ber-Jawa ria di sini, orang-orang Jawa perantau di sini suka berkumpul di warung semacam ini untuk berinteraksi dengan bahasa Jawa rupanya hehehe.

Kala Minang dan Jawa Berpadu Menjadi Satu

Hingga kemudian tak terasa sudah berjalan setahun lebih saya berada di sini. Apakah saya masih dapat mempertahankan kultur orang Jawa dalam diri saya? Atau apakah saya sudah meleburkan diri dalam kultur baru dan lebih pandai berbicara dalam bahasa Minang? Hohoho pada satu sisi memang dengan dominasi penggunaan bahasa Minang di sini dengan sendirinya menjadikan saya lebih memahami bahasa dan budaya orang Minang. Akan tetapi, masih ada juga interaksi sesama orang Jawa dengan masih dipergunakannya bahasa Jawa yang membuat saya masih merasa sebagai orang Jawa, bahkan pun saya jadi keseringan pakai bahasa Kromo yang hitungannya sulit karena di sini orangnya lebih tua daripada saya.

Memang sih, saya masih kelewat lebih kental kultur Jawanya hingga sekarang. Akan tetapi, jika diperbandingkan dengan kondisi awal dulu, sekarang ini pula saya jauh lebih dapat mengerti dan juga mulai menggunakan bahasa Minang dalam keseharian. Dengan dipandu dan dibimbing oleh para pegawai asli Minang di kantor, ibu-ibu penjaga warung dekat kontrakan saya, dan juga spesial travelmate saya yang juga berlatih berbicara bahasa Minang, perbendaharaan bahasa Minang saya menjadi bertambah.

Oya, salah satu tips unik untuk lebih mengerti bahasa Minang itu saya dapati dengan sering mendengar lagu-lagu Minang dan tanya-tanya sama orang Minang apa artinya. Hehehe jadilah sekarang ini beberapa lagu Minang sudah lazim di telinga saya dan saya paham apa maksudnya hihihi.

Jadilah kemudian, sepertinya kesimpulannya ya kultur Minang dan Jawa mulai berpadu menjadi satu dalam diri saya. Ho? Bersatu padu? Bahasanya kayaknya menjodohkan dua hal gitu yaks. Mungkin bisa jadi orang Jawa yang satu ini nanti akan bersatu padu alias berjodoh dengan orang Minang, iya kan? *ups* hihihi

Painan, 19 Juli 2012, 23.13

*diikutsertakan pada lombanya Mbak Lessy pada tautan jurnal Lomba Xenophobia ini

95 komentar:

  1. hahahaha...org minang ada dipenjuru indonesiah mas nazh...lupo jo bahaso daerah? tu indak...dri ketek pakai bahaso minang jo rang gaek ma ota jo bahaso minang...jo dunsanak dan jo kwn2 klo sobok ttp pakai bahaso minang..ba'a gak ati mas nazh...xixi

    BalasHapus
  2. tapi ya itu Uni... saya pun sebelumnya kan punya tuh kenalan teman-teman bahasa Minang dan mereka ya karena tahu saya orang bukan Minang ngajak ngomongnya pake bahasa Indonesia yang baik dan benar *halah

    dan beneran deh ketika masuk ke sarangnya Orang Minang di sini, jadilah cultural shock banget.... emang sih jadi inget pula temen2 Minang yang dulu di kampus didominasi orang Jawa pun jadinya semakin ngeh bahasa Jawa, tentunya ya kalau saya berada di ranah Minang ini semakin ngeh pula dengan Bahasa Minang hehehehe

    *jawabnyo ndak pakai basonyo ya, Uni... paham maksudnya tapi kalau jawab pakai bahasa Minang takuik salah2nyo hehehe*

    BalasHapus
  3. Posene mana tahan Nas.. hahaa...
    komen fotone sek :p

    BalasHapus
  4. xixixiixixi...plg mantengin mas haryo nih

    BalasHapus
  5. Ogak mas Catur, cuman kebetulan aja liat.. pas lagi baca ada kesempatan... hehee
    salam kenal ya :D

    BalasHapus
  6. udah mulai roaming nih baca jurnal di sini :)

    BalasHapus
  7. dimana2 ada pun org jawa...kayak kk iparku..dia gede dan besar disawhlunto tpi neneknya org jawa..jdi ngerti&bisa berbahasa jawa...tpi klo mknnannya tetep pdg..klo ngomong ma dia tetep bsa bhsa minang^^

    BalasHapus
  8. unyu banget kan... ngepas sama situasinya dengan keunyunan kecanggungan berbaso Urang Minang hehehe

    BalasHapus
  9. iya ini sambil baca jurnal baca koment juga..perlu perlahan-lahan bca jurnal soalnya seperti biasa mas nanazh selalu panjang bkinnya :D...

    salam :D...

    BalasHapus
  10. keliatannya emang sudah nyetting untuk comment no ke-4 nih

    BalasHapus
  11. namamu kan bukan huflepuffklimax... harusnya mungkin huflemax gitu yaks? hihihi

    BalasHapus
  12. hoooo baru kenal toh rupanya ehem ehem ehem

    BalasHapus
  13. ya mencoba-mencoba memadukan bahasa Jawa dengan bahasa Minang di sini biar orang Jawa bisa dapat jodoh orang Minang *loooooooooooooooooh

    hihihi kan udah saya artikan pula kok mas di sini

    BalasHapus
  14. kiranya semula saat di sini tuh ndak ada orang Jawanya... ternyata saya salah besar... justru orang Jawa di sini ya itu mbak sudah pandai bercakap bahasa Minang... itu salutnya... dan juga saat diajak ngomong Jawa pun masih bisa... jadi pengen mencontoh mereka gitu...

    BalasHapus
  15. sing penting isih kurang saka 2000 kata kok hihihi

    ooooh ciri khas serba panjangku emang ndak ilang2 yo ~_~a

    BalasHapus
  16. siji loro telu mbak kalau bahasa Jawanya :D

    BalasHapus
  17. Hahaaaaa... saya tahu rasanya uda.. meskipun sudah belajar bahasa Melayu disini.. pas ketemu orang melayu malaysia,, kadang gak tahu apa maksudnya.. aksennya beda sama orang jawa yang penuh penekanan di konsonannya..
    Walau boleh cakap melayu tetap x reti nie.. :p
    apalagi pas awal disini saya belum ketemu kenalan Indonesia yang lain :p

    Kalau kata orang dimana bumi dipijak disana langit dijunjung, jadi harus belajar Budaya Minang juga Uda.. tapi tetap tidak lupa dengan budaya sendiri.. :)

    BalasHapus
  18. waah belum pernah keluar pulau jawa...jd rasa asing seperti ini belum pernah sy dapatkan hehehe......btw wedi karo wong minang gak mas sampeyan pas pertama2

    BalasHapus
  19. la kuwi iso dienggo bahan buat nulis Xenophobiamu tuh... tenggat waktune kan masih lama tuh... ayo dibikin tulisannya pula ya... takkasih PR ahahahaha

    hooooooooo peribahasa Minang yang satu itu juga sebenarnya mau jadi ending conclusionnya tulisan ini tapi lupaaaaaa dicantumin.... emang poin intinya seperti itu Uda... :)

    BalasHapus
  20. wah mas Catur ini memang kudu dapat tantangan nih buat settle sekali waktu di luar Jawa.... jangan biarkan duniamu jadi sesempit pulau Jawa, Uda hehehe... *halah saya pun juga kalau ndak ditempatkan di sini kayaknya bakal bertahan di pulau Jawa hihihi*

    kalau takut sih ndak kok... soalnya udah banyak kenalan orang Minang sebelumnya saat kuliah dan mereka orangnya baik-baik... cuman ya itu awalnya ora ngeh maksude mereka ngomong ki apa to gitu hehehe

    BalasHapus
  21. Wahh.. saya x pandai lah nak buat citer Uda..
    kisah perjalanan kat Malaysia-Thailand pon x boleh buat.. hiihiiiii
    Cik Anas nak buatkan ke? :D

    BalasHapus
  22. hehhee..kalo aku ngerti sih..tp ga bisa ngomongnya *Padang coret :p

    BalasHapus
  23. ????
    macem kaya ngana kuwi bahasa Melayune? uaaaaaneh tenan juga yo...

    hohoho mosok daku yang menceritakan kisahmu... ya pakailah bahasamu sendiri... bisa pastinya... wong tinggal cerita kan... :)
    ditunggu lo teteup...

    BalasHapus
  24. belajar dari mana, mbak Amirah emangnya?
    hohoho sebenarnya pun saya masih pada tahapan seperti itu pula huhuhu

    BalasHapus
  25. Yah.. camtu lah orang Melayu cakap,,
    Orang Cina dan India kat sini ramai pon..
    Jiran depan rumah India je, tadi pagi nyetel lagu India keras keras dan sembahyang depan rumah.. bau dupanya sampai sini.. Unik banget dahh :D

    BalasHapus
  26. weuw multietnis sekali yah lingkungannya...

    hmmm... ni saya sedang ndengerin lagu India pula soalnya ahahahhahaha

    BalasHapus
  27. Baa da?
    La biso kecek Minang? hahaha

    BalasHapus
  28. jadi begitulah rupanya.... orang Minang semakin bertambah ni di sini...

    berarti udah lama pula ndak ke Ranah Minang ya mbak?

    BalasHapus
  29. yo kuwi mas isih sithik2 isone hehehe

    *jawab memakai bahasa sebaliknya aha*

    BalasHapus
  30. hiiiiiiiiiiii unyu kali mas... cuman emang sih diriku pake melotot gitu yaks hehehe

    BalasHapus
  31. haha wong nang jogja wae nek ketemu wong ngapax balik maning ngomonge koh

    BalasHapus
  32. Ramadhan sebentar lagi... harusnya kan kita menghindari fitnah kan ya...

    jadi ya sepakati saja ya mas kalau itu unyu *memaksa ahahaha

    BalasHapus
  33. mas Priyo mas Priyo... cilacapers sih ya....
    begitulah memang di mana-mana selalu kita bawa identitas budaya asli kita hihihi

    BalasHapus
  34. kamu kan baik hati to, Uda Haryo hihihi

    BalasHapus
  35. ambo masih saketek saketek mangartinyo....

    BalasHapus
  36. jgn2 malah dapat istri orang sana, Naz hehe

    BalasHapus
  37. kalo lagi di luar kota ketemu dengan orang sesama kampung berasa sodara banget yah...

    BalasHapus
  38. rasah adoh-adoh, ning kuto beton iki yo koyo ngono..*njuk pura-pura ra reti boso gowl Jakarta.C#

    BalasHapus
  39. inggih kula yo sami-sami mawon euy... taksih kudu sinau nemen ki

    *balas bahasanya Jawa kromo hihihi*

    BalasHapus
  40. seperti yang saya bilang di bagian akhir

    bisa jadi deh mbak hihihi

    BalasHapus
  41. betul banget dah mbak... kerasa sekali itu...

    seperantauan sepenanggungan jadinya hehehe

    BalasHapus
  42. kyaaaaa diaminkan oleh mas Samsul nih...

    apalagi timingnya juga pas... :)

    BalasHapus
  43. sama ky pas dl ptama kali ksemarang.roaming n sakit hati ndenger org2 semarang ngobrol.kirain lg pd berantem krn bhsny tdgr sinis

    BalasHapus
  44. maksude? rasa nek kangen basa Jawanan? huehehehe saiki temenan jadi wong gaul gitu ya? Jakarte geto loh hihihi

    BalasHapus
  45. Mas Marto... hohoho emang ngepas banget dah lagunya yang itu... menunjukkan nuansa perantauannya hihihi

    BalasHapus
  46. weh ini malah ada yang pengalaman dengan roaming basa Jawa nih...
    bahasa Semarangan agak2 mirip dengan dialeknya Salatiga lo, mbak Nisa...
    sinis yo? wah palingan itu sedang nggerundel atau ngomongin orang biasanya hihihi

    BalasHapus
  47. Insya Allah bilo ado rejeki da :D

    BalasHapus
  48. Hihi..sama Naz..dulu jg mikirnya bhs Minang cirinya hanya dgn ganti2 huruf 'O' aja..tapi ada juga yg ganti akhir kata '....as' dengan '....eh'.
    Asik juga belajar bhs Minang. Sayang sampai skrg blm bs juga bhs Minang dgn baik krn skrg malah uda Andri, suamiku, lg semangat belajar bhs Jawa. :p

    Kalau bagi Anas yg bikin terkejut adalah bahasanya, maka bagi saya adalah budaya dan hukum adatnya. Dominasi perempuan sangat kentara dlm keputusan keluarga. Dan itu sedikit banyak adalah 'kebalikan' dari adat Bali (dari bapak saya) walau dari ibu saya yg Jawa tidak terlalu kentara. Uniknya adat Minangkabau yg matrilineal tsb kini berfalsafah: Adat basandi syara', syara' basandikan kitabullah. Sayangnya, justru banyak orang muda Minang yg tidak terlalu paham lagi akar budaya mereka yg unik ini, walau mereka menghidupkannya dlm kehidupan sehari hari. Padahal ingin juga belajar ttg ini karena sepertinya sangat menarik. Siapa tahu karena Anas di sana lama, Anas bisa menjelaskan. :)

    Makasih banyak ya Anas atas supportnya untuk kegiatan menulis ttg Xenophobia ini. Terima kasih atas sumbangan naskahnya dan pengalaman pribadinya ini.

    BalasHapus
  49. didoakeun supaya ada kesempatan itu... masih ada kerabat kan ya di sana?

    BalasHapus
  50. Aamiin...

    Masih ado mak' ngah, jo etek...

    BalasHapus
  51. aah iya Mbak Lessy kan ada Uda Andri yang mengajarkan bahasa Minang ya... Pantesan heran juga saat bercomment ria di postingan Uda Afrianto kok fasih sekali berbahasa Minang, padahal setahu saya kan mbak ada darah orang Bali ya kan...

    budaya dan hukum adatnya kini dalam tahap pengenalan.. masih sedikit yang saya ketahui... sepertinya memang perlu lebih lama untuk mengenalinya dan perlu orang asli sini yang mengenalkannya... memang sepertinya belajar budaya Ranah Minang ini menarik karena kekhususan dan keunikannya...

    hohoho event Xenophobia ini memang menjadikan saya mengenang momen2 awal di sini dengan cultural shock yang dulu saya alami di sini. Ide Xenophobia brilliant... saya sangat mendukungnya. Terima kasih pula mbak Lessy telah mengadakan event ini :)

    BalasHapus
  52. lolololoh commentnya seumprit tapi kok spacenya banyaaaaak keun... indikasi typo nih ya? hihihi

    BalasHapus
  53. wah masih ada yaks...
    ditunggu dah kembalinya ke Ranah Minang....

    kan orang Minang lazimnya gitu setelah merantau ke mana-mana, ujung-ujungnya teteup balik ke nagari sendiri :)

    BalasHapus
  54. la kok iso, mas? jangan2 memang meh ngapa2 yo? hihihi

    BalasHapus
  55. hehehe.. Insya Allah.

    tp kayaknya ga menetap di sana deh.. paling cuma nengokin tanah leluhur :D

    BalasHapus
  56. yo boten napa2 istilah jawane, kan mbak? hehehe

    BalasHapus
  57. ealah doain menang nih... ni lomba selain untuk berkompetisi juga untuk seru2an berbagi pengalaman... punya gak tuh pengalaman Xenophobia? sok atuh ditulis dan diikutsertakeun... MP kan ajangnya perlombaan tulis menulis :) makanya betah punya lapak di sini hehehe

    BalasHapus
  58. brarti kbalikannya saya ya mas. saya orang Minang tinggal di tanah Jawa. lidah saya udah mulai luntur. >,<
    pembuktiannya pas pulang kampung nanti masih bisa bahasa Minang atau kagak

    BalasHapus
  59. saya kendati udah 6 tahun di Jawa, tetap tidak bisa lancar berbahasa Jawa. saya cenderung spontan pake bahasa Indonesia. lebih enak. jadi, pas pulkam pun, saya tidak bisa unjuk kemampuan bahasa Jawa saya :)))
    logat saya tidak bisa medhok. yow, daripada dipaksakan dan cuma jadi bahan guyonan, mending berbahasa Indonesia yang baik dan benar saja :))

    BalasHapus
  60. di Jogja udah jarang pake bahasa Minang ya? ndak ada tuh semacam paguyuban mahasiswa ranah Minang? kalau dulu di kampus saya ada tuh namanya Ikatan Mahasiswa Tuah Sakato.. biar teteup kerasa urang Minangnya walau dirantau kan hehehe

    ya ini diambil dari pengalaman saya juga sering mangkal di warung2 orang jawa yang saya ceritakan ni, jadinya masih berasa Jawanya di sini :)

    BalasHapus
  61. mas Fatah nih belum luntur ya... perlu usaha lebih deh untuk menjawakan mas heheheh
    tapi ya memanglah teteup berbahasa Indonesia baik dan benar menjadi tuntutan kok hehehe

    BalasHapus
  62. ikutan walah nih...
    ini tandanya Haryo mbantu mas Fatah biar di-Jawakan segera di Surabaya hihihi

    BalasHapus
  63. Hmmm di kantor, ane pake dwi bahasa... Bahasa Indonesia dan yang terpenting dan sering adalah Bahasa JAWA hehehe

    BalasHapus
  64. lho mas anaz aslinipun saking pundi?

    BalasHapus
  65. ah mas Aldi nih... belum keitung dwibahasa ah heheheh

    weh ngepas sekantor orang Jawa yaks huhuhu

    BalasHapus
  66. padahal mestinya sama ya minang dan jawa itu kan bahasa nya sama2 cinta sama huruf O hihihi...
    btw iya mas, ini kaklist yang tidak jualan alias khusus buat nge blog id nya :) thx udah di add :)

    BalasHapus
  67. hohoho iya mbak... semula saya kira begitu.... ternyata ndak semuanya seperti itu,,,, mengucapkan O-nya pun beda rasanya.... jadi bener2 asing dengan bahasa yang satu itu awalnya...

    wah dibedakan antara ID blogger dan ID OS ya...boleh juga ditiru hehehe. sama-sama mbak...

    BalasHapus
  68. belajar dan terus belajar tentunya :)

    BalasHapus
  69. enak yaa makan rendang versi asli..kalo di jawa mah manis

    BalasHapus
  70. tapi jadinya saya kadang kangen banget makanan serba manisnya Jawa mbak huhuhu

    BalasHapus