Jumat, 29 Juli 2011

merindu sang ayah

Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan kala sore hari itu. Bercanda ria bersama, bermain asyik bersama. Ah, rasa-rasanya sore itu terlalu indah untuk dinikmati mereka berdua dan aku hanya bisa menatap lekat-lekat keberadaan mereka serta pemandangan sekitar. Sore hari itu, seorang ayah dan anaknya yang masih kecil itu membuat aku merasa sedemikian rupa untuk cemburu.

Bagaimana aku tidak bisa cemburu? Kesempatan untuk dapat merasakan semacam peristiwa itu sebagai pelakunya langsung sudah tidak ada lagi bagiku. Sudah sekian lama tahun-tahun panjang itu berlalu dan kecemburuan itu tak hanya muncul satu-dua kali saja, namun ia datang sedemikian sering.

Sembilan belas tahun itu sudah berlalu. Saat itu aku masih begitu kecil, seorang anak dengan usia sekitar 3 tahun. Apa yang aku ingat saat aku masih sekecil itu? Fragmen memori yang masih ada kini begitu kabur, sulit membuatnya untuk teringat kembali. Kalaupun ada foto yang mencerminkan peristiwa nan penuh duka itu, yang aku dapati adalah seorang anak kecil yang digendong oleh ibunya dan menatap beku pada sesosok tubuh yang sudah kaku terbalut kain penutup. Anak kecil itu adalah aku.

Sekecil itulah aku mendapati diriku sebagai anak yang melanjutkan kehidupannya tanpa seorang ayah yang membimbing dan mendidiknya. Kehidupan pun berjalan dengan sendirinya, mengalir dengan perlahan dan beriringan dengan liku waktu. Yang aku tahu dari keluargaku adalah adanya seorang ibu dengan dua anaknya, aku dan kakakku. Tanpa adanya seorang ayah. Begitu sederhana, walau tetap terasa ada yang kurang lengkap.

Entah aku lupa bagaimana aku menyadari adanya kekuranglengkapan ini. Toh, sekecil itu rasanya dulu aku belum terpikir bagaimana kehidupan berlangsung tanpa adanya seorang ayah. Namun, seiring berjalannya waktu, pemahaman dan kesadaran itu mulai tumbuh. Ada yang kurang lengkap, ada suatu kecemburuan muncul, ada yang terasa mengganjal.

Lalu, apakah aku kemudian menjadi orang yang sangat menyesali kepergian ayah ke Rahmatullah? Mungkin bisa jadi seperti itu pada awalnya. Pemahaman dan kesadaran akan kondisi keyatimanku itu tumbuh mulai dari titik nol. Awal mula terasa keganjalan itu, bisa jadi aku pernah mengeluh tidak adanya sosok ayah dalam kehidupan aku. Bahkan pun, kadang dengan keyatiman ini menjadi suatu alasan yang diada-ada manakala aku terlalu bingung dengan makna kelelakian yang sejati. Kala orang menggugat kelelakianku, maka aku mengadu dan berdalih karena tak ada ayah di sisi aku yang mengajarkan akan kelelakian itu. Ada benarnya sebenarnya alasan itu, tetapi ah sepertinya alasan itu terlampau naif.

Aku pun belajar dan perlahan memahami akan satu konsep bernama takdir. Takdir mengajarkanku untuk menerima dengan lapang segala ketentuan yang telah digariskan oleh Illahi dan sudah tak bisa diubah lagi. Semuanya sudah berlalu dan tidak ada jalan untuk kembali ke masa lalu. Sesal dan keluh atas kepergian ayah bukanlah suatu hal yang pantas dilakukan. Yang ada dan harus dilakukan sekarang adalah menumbuhkan sepenuh keyakinan. Keyakinan bahwa setiap babak kehidupan ini telah diatur oleh Allah Sang Maha Pengatur dengan seksama dan inilah yang terbaik. Kepergian ayah adalah salah satu hal yang termasuk bagian terbaik itu. Sulit untuk menumbuhkannya, tetapi aku harus belajar untuk itu.

Kusalahkan Benda Laknat Itu

Aku mendengar cerita tentang ayah dulu. Betapa beliau dulu termasuk perokok berat dan mampu menghabiskan sekian puntung rokok itu berkali-kali. Semuanya terbuang melalui asap dan sepertinya membakar menggerus kesehatan ayah.

Cerita ini begitu mendekam kuat dalam pikiranku. Oleh karena itulah, sejak kecil aku tidak menyukai rokok. Aku anggap benda itu adalah benda yang begitu terlaknat. Bahkan pun, aku anggap benda itu adalah mesin pembunuh ayahku. Namun, sekali lagi rasanya aku terlampau naif.

Karena setelah ditelusuri lebih lanjut, ayahku meninggal dunia dengan adanya stroke yang dialami oleh beliau. Usia beliau kala waktu itu juga sudah senja. Jadilah dengan ketuaannya itu, beliau rentan dengan penyakit.

Namun tetap saja, walau aku mengetahui bukanlah rokok penyebab kematian ayah. Akan tetapi, aku pahami bisa jadi tetap saja rokok itu mempengaruhi entah secara langsung atau pun tidak langsung akan kondisi kesehatan ayah. Rokok bagaimana pun juga, sebagaimana yang kita pahami, adalah suatu hal yang tidak baik. Oleh karena itulah, tetaplah kebencian sedemikian dalam itu ada pada satu benda itu.

Keserupaanku Denganmu

Dengan sebegitunya sedikit hal yang aku ingat akan sosok ayah, maka aku hanya bisa melihat dan berusaha menelusuri jejak sejarah yang ayah tinggalkan di rumah. Jejak itu terasa begitu nyata, apalagi setelah aku temukan catatan-catatan kehidupan kesehariannya.

Di dalam lemari lama itu, aku temukan catatan-catatan itu. Catatan itu terkemas dalam bentuk agenda tahunan. Ah, rasa-rasanya aku begitu lazim dengan hal semacam ini. Kemudian akhirnya aku pahami, ada keserupaan yang aku temukan antara aku dengan ayah. Kami menuliskan sejarah kami masing-masing dalam bentuk buku agenda tahunan.

Ya, keserupaan itu adalah hal yang begitu alami dan natural tanpa aku mengada-ada. Sejak aku masih berumur belasan tahun, aku dengan inisiatif sendiri memulai untuk menuliskan apa yang aku alami dalam keseharian aku pada buku agenda tahunan itu. Ah, tanpa aku ketahui ternyata ayah dulu juga seperti itu. Sungguh tak pernah aku duga. Kala pertama kali menyadari keserupaan ini, begitu terasa kedekatan hubungan antara ayah dan anaknya, walau kini telah berbeda dunia.

Kemudian aku telaah jejak rekam aktivitas ayah aku ini dari buku agendanya itu lebih dalam lagi. Aku dapati kesimpulan bahwa beliau adalah orang yang begitu aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan. Beliau orang yang begitu rapi dan teratur dalam beraktivitas, mencatatkan notulensi rapat yang telah beliau ikuti, dan merencanakan setiap langkah mencapai program organisasinya. Ah, bukannya aku adalah orang yang sama persis bertipikal seperti beliau. Akan tetapi, konsep kerja semacam ini dan aktivitas organisasi semacam itu, menjadikan masih adanya keserupaan yang menurun dari ayah kepadaku.

Buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Peribahasa ini membuat aku tersenyum kala menyadari adanya keserupaan itu. Padahal keserupaan ini terjadi dengan sendirinya. Sungguh suatu kebetulan. Kebetulan yang begitu terasa mendekatkan dan menghadirkan nuansa keberadaanmu, ayah...

Seperti Rasul

Sejarah hidup ayahku membuat aku tertegun sejenak. Tersirat ada kesimpulan lain yang aku dapati. Kisah hidupnya itu serasa sudah sedemikian sering aku dapati dalam kisah lainnya. Kisah lain yang kemudian aku ketahui adalah kisah Rasulullah SAW.

Bagaimana aku mendapatkan kesimpulan semacam ini? Aku hanya menyimpulkan secara serampangan dengan memperbandingkan kisah ayah dan kisah Rasul. Rasul menikah dengan istri pertamanya, yakni Khadijah, pada usianya yang relatif muda, sedangkan Khadijah adalah janda berusia hampir paruh baya. Begitu pula dengan ayah, beliau dulu saat muda menikahi seorang janda yang juga berusia hampir paruh baya.

Aku tidak mengetahui apakah maksud ayah menikahi istri pertamanya itu dengan latar belakang ingin meniru Rasul atau tidak. Akan tetapi, memang inilah yang terjadi dan aku ketahui. Ayah pun masih bersama istri pertamanya itu, hingga kemudian istri pertamanya itu meninggalkannya lebih dahulu karena ajal yang sudah ditentukan.

Barulah kemudian, ayah menikah lagi dengan seorang wanita yang kemudian menjadi ibuku. Sama halnya dengan Rasul yang baru menikah lagi setelah meninggalnya Khadijah. Namun memang tak dinyana, kisah ayah dan Rasul tidaklah 100% serupa. Hanya pada beberapa fragmen-fragmen tertentu saja sebenarnya

Namun, hal ini memberikan kekaguman tersendiri akan sosok ayah. Apalagi dengan track recordnya yang juga sering berkecimpung pada aktivitas kerohanian Islam. Dirinya begitu kuat berprinsip pada agama, bahkan pun beliau mampu berbahasa Arab, memiliki koleksi buku-buku berbahasa Arab gundul dan sarat akan ilmu, serta mempraktekkannya secara riil dengan peran sertanya pada organisasi Islam. Walau ada satu hal yang mengganjal dari ayah, bagaimana bisa dirinya terjebak pada kebiasaan merokok yang sebenarnya adalah upaya pembinasaan diri dan tidak tepat sesuai ajaran agama. Ah, namanya manusia, memang tak ada yang sempurna...

Dan Kehidupan Berlanjut Tanpa Dirimu

Sembilan belas tahun pun berlalu. Angka itu rasanya hanyalah sekadar angka saja. Semuanya berjalan begitu mengalir dengan sendirinya. Kami pun dapat menyesuaikan diri untuk hidup tanpa adanya keberadaan ayah.

Ibu mendidik dua anaknya dengan penuh perhatian. Dirinya menjadi single-parent dan mendedikasikan penuh kehidupannya mendidik aku dan kakakku. Kekuatan cintanya begitu terasa melekat dan tumbuh dalam diri kami. Kekuranglengkapan yang ada bukanlah menjadi alasan pembenar yang tepat untuk tidak tercapainya kebahagiaannya dalam kehidupan keluarga kecil kami ini. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah sang Maha Pemberi Rezeki, yang senantiasa memberikan rezeki dan menjadikan keluarga ini bisa berbahagia dengan apa yang ada.

Momen yang sungguh membuat hati ini begitu deras memikirkan tentang ayah adalah saat aku menggantikan posisi ayah yang semestinya diisi olehnya bukan aku, yakni menjadi wali nikah menikahkan putri pertamanya itu. Hari itu, begitu terasa sungguh kehilangan peran ayah dalam kehidupan kami. Namun, hari itulah jua kebahagiaanlah yang menjadi perasaan dominan bercampur baur dengan segala rasa lainnya.

Dan kini, aku kembali berada di rumah nan penuh sejarah ini, rumah yang dulu ayah tinggali dan menjadi saksi bisu akan semua aktivitasnya, di suatu kota yang menjadi tempat kelahiran aku, Salatiga.

Aura keberadaanmu begitu terasa, hadir di tengah-tengah kami, ayah... Apalagi anakmu yang pertama ini dalam hitungan yang tak lama lagi akan melahirkan cucu pertamamu, ayah...

Doa pun senantiasa terlantunkan di akhir sholat...

Allahummaghfirlahu wa’afihi wa’fuanhu (Ya Allah, ampunilah dia, berilah rahmat kepadanya, selamatkan dia, dan ampunilah dia)

Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani saghira (Ya Tuhan kami,ampunilah segala dosaku dan dosa kedua ibu bapaku serta kasihanilah ibu bapaku sebagaimana mereka mengasihaniku sewaktu masa kecilku)

Sungguh hati ini begitu merindu akan sosok ayah. Momen-momen bersamanya berjalan begitu singkat dan kini mengabur dalam ingatan. Namun, terbersit harapan indah yang menjadi impian nantinya, semoga Allah mempertemukan keluargaku dengan lengkap nantinya di surga, menggantikan momen-momen yang kurang lengkap selama di dunia ini... Aamiin...

Salatiga, 29 Juli 2011, 16.30

N.B. :

Gambar diambil dari situs http://pichopi.blogspot.com/2011/05/ayah-youre-my-world.html

Postingan terkait bisa diklik langsung pada kata-kata yang dicetak tebal dan miring atau langsung ke tautan jurnal Banci (Mencoba Menemukan Arti Lelaki Sejati), Menulis Sejarah AndaArti Kekuatan Cintamu, dan Menikahkanmu.

41 komentar:

  1. ayah... ibu...

    mereka adalah orang2 hebat

    BalasHapus
  2. Panjang banget ;p

    Balik omah le kangen.

    BalasHapus
  3. nass, pending dulu ya baca ceritanya

    seperti biasa, panjaaang
    hehehe

    BalasHapus
  4. Mengalami perasaan yang sama...tapi aku masih lebih beruntung Bapak pergi pas aku sma kelas 2. Tapi tetep sama aja karena sejak kecil ditinggal kerja di luar kota.

    BalasHapus
  5. iya banget deh mas....
    mendidik anak-anak sampai besar itu menjadi suatu kewajiban yang sangat bernilai tinggi dan penuh dedikasi...

    BalasHapus
  6. ini nih yang bacanya gak lengkap mpe akhir...

    kan di beberapa paragraf terakhir dicantumin kalau diriku sedang di rumah...
    makanya terinspirasi buat tulisan ni, mas....

    BalasHapus
  7. bolehlah mbak... ibarat kata nih cerpang....
    cerita panjang kok hehehe

    BalasHapus
  8. emang kita ndak sendiri doang yang ngerasain hal ini...
    well, seperti yang saya utarain di bagian akhir...

    ya kirim doalah yang terbaik untuk mereka....

    BalasHapus
  9. Nah kui. Obate sud ketemu: balik omah.
    *mempertegas tulisanmu
    *ngeles

    BalasHapus
  10. hihihi begitulah to...
    terasa banget kok aura bapak ing omah...

    aaaaah tinggal sehari lagi nih di Salatiga T_T
    dan ponakanku masih belum lahir nih

    BalasHapus
  11. kamu gak sendiri kok nas,,,
    aku juga...

    dan kelak, jadilah ayah yang baik dan membanggakan anak2mu :)

    BalasHapus
  12. saya ditinggal bapak pas masih SMP.semua ada hikmahnya kok...

    BalasHapus
  13. iyaaa kehebatan orang tua kita
    harusnya menjadikan kita banyak belajar dari mereka untuk menjadi orang tua yang hebat pula...

    insya Allah kita semua bisa...
    begitu pula dengan mbak Anty, semoga jadi ibu yang baik dan membanggakan anak2 mbak :)

    BalasHapus
  14. iyo mas...
    dan hikmah-hikmah itu tergali dengan sendirinya kala aku mendapati jejak rekam bapak di rumah....

    BalasHapus
  15. ;-)
    mas anas.. yang tabah yaaaa.. dan selalu semangaaaaaat ;-)..

    BalasHapus
  16. wah, tulisan yang menyentuh ...
    terima kasih ...

    BalasHapus
  17. insya Allah...
    ni tulisan kan didedikasikan untuk sang ayah dan juga mengenangnya dalam kehidupan saya selalu :)

    layaknya buah nanas, seorang nanazh tak boleh patah semangat
    *hehehe emang ada ya filosofi gitu he*

    BalasHapus
  18. sama-sama mas...
    semoga menjadikan kita terus mengenang betapa hebat dan dekatnya sosok ayah dalam kehidupan kita
    T_T

    BalasHapus
  19. Aamiin.

    Membaca perihal benda laknat itu, jadikan ia musuhmu dan musuh keluargamu selamanya :)

    BalasHapus
  20. jazakallah mas dah mengamini doa saya...

    yes, absolutely still,
    a cigarette is a forbidden and cursed thing ever

    BalasHapus
  21. ning salatiga to?
    wooooooooo

    mampir2... *basa-basi

    BalasHapus
  22. balik omah iso ngobati kangenmu ning bapak?

    BalasHapus
  23. mung nganti Sabtu tok..
    Ahad wis ndang lunga balik meneh ing Painan

    BalasHapus
  24. ana nuansa kehadirane ngonolah...
    ngerasa luwih lengkap karo keluargane dhewe....

    BalasHapus
  25. nanaz itu manisss *ngareptraktiran* ;-p

    BalasHapus
  26. hooo.. ngunu yo naz...

    aku pertanyaanq nggo dirimu ro nggo budhe topan..
    hehehe..

    BalasHapus
  27. traktiran buah nanas aja yaaah.... hahahaha

    BalasHapus
  28. jadi bener kan aku jawabe nggo bales comment mb'e...

    *heran dah gimane bise kalian bertukar julukan yang menyesatkan itu dengan budhe topan dan mbak fajar -_-a*

    BalasHapus
  29. djdiin selei yaaaaaa...
    jadiin parsel lebaran,hahahahaha

    BalasHapus
  30. hohoho entah keknya udah default di otakku 'mbak fajar' untungnya hehehe

    BalasHapus
  31. nice idea...
    dan saya akan berubah jadi akun online seller deh kalau gitu hehehe

    BalasHapus
  32. TT-TT

    pada akhirnya aku tau mengapa anas suka banget cerita2 bertema ayah..

    BalasHapus
  33. hmmm salah satu yang kemaren jadi pikiran setelah tahu judul buku Ai.. dan sekarang sedang nunggu bukunya datang looo.....

    our dad's our hero dah....

    BalasHapus
  34. he kok emotnya gitu...
    senyum aja dong, bang...
    mengingat ayah kita sendiri kan harus diiringi dengan semburat kebahagiaan di wajah dan kenangan kita....

    precious moments...
    if i could memorize each moment with him...
    i will always smile, not to take the sad expression he

    BalasHapus
  35. At least, kita masih bisa merasakan kebahagiaan dalam kehidupan, n masih bersama orang2 lain yang kita cintai.
    Tidak ada jaminan kalau orang tua lengkap kita akan bahagia mas nanas.Hehe :D

    BalasHapus
  36. so wiseful really...

    yes, sekarang saatnya memang untuk mempersepsikan yang sekarang inilah yang terbaik untuk kita...

    BalasHapus
  37. latansa.. insya Allah, semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan untuk bersabar

    BalasHapus